Orang yang pernah terinfeksi Covid-19 akan memiliki daya tahan lebih kuat dalam menghadapi virus corona. Sebab, sistem imunnya telah mengenali karakter virus itu sehingga lebih siap menghadapinya ketika terpajan lagi. Tapi tetap ada kemungkinan orang itu mengalami infeksi lagi setelah dinyatakan sembuh. Kondisi ini dinamai reinfeksi Covid-19.
Apa Itu Reinfeksi Covid-19
Reinfeksi Covid-19 terjadi ketika seseorang yang sudah sembuh dari infeksi virus corona di kemudian hari terinfeksi lagi oleh virus yang berbeda. Reinfeksi berbeda dengan repositif atau reaktivasi virus, yakni kondisi ketika virus corona yang masih tersisa di tubuh menginfeksi orang itu lagi. Artinya, infeksi disebabkan oleh virus dengan struktur yang sama.
Untuk membedakan antara reinfeksi dan repositif/reaktivasi, harus ada pengambilan sampel untuk mengurutkan genome virus. Sampel berasal dari tes pada kasus positif yang pertama dan kedua. Peneliti mengurutkan kedua sampel itu dan membandingkannya untuk mengetahui apakah ada kesamaan struktur atau varian. Bila berbeda, berarti pasien mengalami reinfeksi Covid-19.
Namun pengurutan genome virus bukanlah pekerjaan ringan. Harus ada tenaga terlatih serta perlengkapan dan laboratorium dengan standar tertentu untuk melakukannya. Pengurutan genome juga membutuhkan waktu lama. Terlebih di tengah pandemi yang menyebabkan banyak keterbatasan di mana-mana. Di Indonesia, belum ada panduan khusus untuk menangani kasus reinfeksi dan repositif. Pasien yang positif Covid-19 untuk kedua kalinya ditangani dengan cara sama ketika pertama kali positif.
Sebuah penelitian di Nuffield Department of Medicine di University of Oxford, Amerika Serikat, menemukan banyak kasus reinfeksi Covid-19 kemungkinan besar adalah repositif. Sebab, virus corona bisa menyebabkan infeksi dalam waktu lama dan struktur genomenya membuat virus mampu bertahan di dalam tubuh. Virus ini pun bisa tak terdeteksi dalam tes dan siap untuk menyerang sekali lagi.
Siapa Saja yang Berisiko Mengalami Reinfeksi?
Reinfeksi Covid-19 sangat jarang terjadi. Menurut penelitian di Public Health England Colindale di Inggris dan Statens Serum Institut di Denmark, orang yang pernah terinfeksi virus corona mendapat perlindungan hingga 80 persen dari infeksi kedua. Adapun dari penelitian di Denmark, perlindungan terhadap warga lanjut usia (di atas 65 tahun) hanya 47 persen. Dengan demikian, mengacu pada hasil penelitian itu, kalangan lansia tergolong lebih berisiko mengalami reinfeksi.
Analisis dari riset itu menunjukkan di antara orang yang positif pada gelombang Covid-19 pertama, sebanyak 0,65 persen positif lagi pada gelombang wabah kedua. Orang yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) juga lebih mungkin terkena infeksi kedua.
Mengapa Orang Bisa Dua Kali Terinfeksi Covid-19
Walau tubuh sudah mengembangkan sistem imun untuk melawan Covid-19, masih ada kemungkinan seseorang dapat reinfeksi. Sebab, Covid-19 pun bisa berkembang atau bermutasi sehingga memiliki banyak varian dengan karakternya masing-masing. Menurut sejumlah penelitian, beberapa varian mampu melawan sistem imun manusia.
Maka dari itu, orang yang pernah terinfeksi Covid-19 tetap harus menerapkan protokol kesehatan. Sama halnya seperti orang yang sudah mendapat vaksin. Walaupun vaksin memberikan perlindungan terhadap serangan virus, orang yang telah divaksin masih bisa terinfeksi jika terpapar virus Corona penyebab Covid-19.
Apakah Gejala Reinfeksi Lebih Parah Dibanding Sebelumnya?
Hingga saat ini, berbagai penelitian belum sampai pada satu kesimpulan apakah gejala reinfeksi pasti lebih parah dibanding sebelumnya atau tidak. Dokter di Gulhane Training and Research Hospital di Turki menyebutkan pasien yang pada infeksi pertama tak mengalami gejala, saat reinfeksi gejalanya ringan. Sedangkan bila pada infeksi pertama harus dirawat di rumah sakit, pasien memerlukan perawatan intensif saat reinfeksi, terutama kalangan lansia yang memiliki penyakit penyerta.
Namun beberapa penelitian lain menemukan tidak ada perbedaan gejala antara infeksi pertama dan kedua. Malah ada pasien yang gejalanya lebih ringan ketika terkena reinfeksi Covid-19. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah sistem imun. Jika imun yang terbentuk dari infeksi pertama masih kuat dan bisa melawan, gejalanya akan ringan atau bahkan tak ada. Sedangkan bila imun sudah lemah atau tak dapat menemukan virus yang menyerang, gejalanya bisa lebih berat.
Pasca Infeksi Covid-19, Berapa Lama Antibodi Bisa Bertahan?
Sistem imun yang terbentuk dari infeksi pertama akan mengingat karakter virus yang menyerang. Tapi ada kemungkinan sistem antibodi itu lupa atau tak mengenali bila bertemu virus dengan varian berbeda. Ambil contoh antibodi yang terbentuk dari vaksin campak yang bisa memberikan perlindungan seumur hidup. Namun tidak demikian dengan antibodi dari vaksin influenza. Karena virus influenza banyak ragamnya dan terus bermutasi, ada batas waktu perlindungan sehingga vaksinasi perlu diulang tiap tahun demi perlindungan maksimal.
Lantaran virus corona penyebab Covid-19 tergolong jenis baru, belum ada penelitian yang bisa memastikan berapa lama antibodi dapat bertahan. Baik antibodi yang terbentuk alami akibat infeksi Covid-19 maupun yang berasal dari vaksinasi. Dari sejumlah kasus reinfeksi Covid-19 juga belum bisa ditarik kesimpulan karena jarak antara infeksi pertama dan kedua yang dilaporkan bervariasi. Ada yang baru dua bulan negatif ternyata terinfeksi lagi. Ada juga reinfeksi yang terjadi setelah setahun sembuh. Penelitian masih berlangsung untuk memahaminya lebih lanjut.
Jika Sudah Divaksin, Apakah Bisa Terinfeksi Covid-19?
Vaksin bukanlah jaminan orang tidak akan terinfeksi Covid-19. Vaksin hanya sarana untuk membentuk antibodi guna memberikan perlindungan terhadap serangan virus. Proses pembentukan antibodi pun tidak berlangsung sekejap. Karena itulah sebagian besar vaksin membutuhkan hingga dosis dua kali untuk memberikan perlindungan maksimal.
Dengan demikian, orang yang sudah divaksin masih bisa terinfeksi Covid-19. Namun risiko infeksi itu lebih kecil daripada orang yang belum mendapat antibodi dari vaksin. Jikapun terinfeksi, besar kemungkinan gejalanya hanya ringan atau tanpa gejala sehingga risiko sakit parah hingga perlu dirawat di rumah sakit lebih kecil.
Ditinjau oleh:
Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Referensi:
https://www.bmj.com/content/372/bmj.n99
https://www.medpagetoday.com/infectiousdisease/covid19/91682
https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/your-health/reinfection.html
https://www.statnews.com/2021/04/07/covid-19-reinfections-still-seem-rare/
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(21)00662-0/fulltext
https://www.cidrap.umn.edu/news-perspective/2021/04/previous-covid-19-may-cut-risk-reinfection-84