Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan adanya peningkatan angka kejadian penyakit ginjal kronik setiap tahunnya yang menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian atas penyakit tersebut. Biasanya pasien dengan ginjal kronik dapat sampai ke tingkat cuci darah secara bertahap namun progresif. Terapi hemodialisa untuk gagal ginjal merupakan pilihan.
St. Rabiul Zatalia Ramadhan, Sp.PD-KGH selaku Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi dari Primaya Hospital Makassar menjelaskan bahwa penyakit ginjal kronik merupakan kondisi kerusakan ginjal yang berlangsung ≥3 bulan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa gangguan struktur ginjal atau fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1.73m2 dan memberi implikasi terhadap kesehatan.
Gambaran klinis PGK bervariasi dari penurunan fungsi ginjal yang ringan (stadium 1) sampai dengan penyakit ginjal tahap akhir (stadium 5). Pada stadium 5, ginjal sudah tidak dapat menjalankan fungsinya secara keseluruhan sehingga memberikan dampak bagi seluruh tubuh. Pada tahap ini harus dilakukan tindakan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) berupa dialisis (hemodialisa (HD) atau peritoneal dialisis) atau cangkok ginjal (transplantasi).
Saat ini tindakan hemodialisa untuk gagal ginjal masih menjadi pilihan terapi terbanyak. Tindakan hemodialisa di masyarakat sering disebut dengan ”cuci darah”. Mesin hemodialisa dapat mengambil alih fungsi ginjal untuk mengeluarkan zat sisa buangan tubuh yang menumpuk dalam darah karena pada mesin hemodialisa terdapat ginjal buatan yang disebut dialiser. “Dialiser ini bisa mengeluarkan produk sisa metabolisme tubuh. Selain itu juga dapat mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal,” ujar Dokter Rabiul Zatalia.
Hemodialisa Untuk Gagal Ginjal Menurut Dokter Primaya Hospital
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal dan Hipertensi dari Primaya Hospital Makassar, dr. St. Rabiul Zatalia Ramadhan, Sp.PD-KGH mengatakan bahwa hemodialisa dipertimbangkan pada pasien yang memiliki indikasi hemodialisa. Indikasi hemodialisa dibedakan menjadi dua yaitu hemodialisa akut pada kasus emergency dan hemodialisa kronik.
Pada pasien gagal ginjal yang diindikasikan HD kronik maka tindakan HD tersebut harus dilakukan seumur hidup, hal tersebut karena kondisi gagal ginjal tidak mengalami penyembuhan. Namun, pada pasien gagal ginjal yang memutuskan untuk melakukan cangkok ginjal, maka tindakan HD dilakukan sambil menunggu donor ginjal yang sesuai.
Frekuensi HD pada pasien yang menjalani HD kronik rata-rata 2-3 kali seminggu dengan rentang waktu 4-5 jam per sesi tindakan HD. Frekuensi HD pada pasien yang diindikasikan HD akut berbeda dengan pasien HD Kronik. Hemodialisa akut sebagian besar diindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal akut yang disertai atau tidak disertai abnormalitas metabolik yang terjadi tiba-tiba. Pada kondisi tersebut kerusakan ginjal yang terjadi masih bisa mengalami perbaikan. Tindakan HD lebih banyak bersifat sebagai terapi pembantu ginjal (renal supporting therapy) yang biasanya tidak dilakukan seumur hidup. Tindakan HD yang dilakukan pada kondisi akut dapat dihentikan setelah gangguan ginjal dan abnormalitas metabolik yang terjadi sudah terkoreksi.
Efek Samping Hemodialisa Untuk Gagal Ginjal
St. Rabiul Zatalia Ramadhan, Sp.PD-KGH menyatakan bahwa tindakan HD memerlukan akses pada pembuluh darah. Sehingga salah satu efek samping yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah efek samping terkait pemasangan akses tersebut. “Efek samping yang dapat muncul terkait akses tersebut. Antara lain nyeri pada tempat tusukan, perdarahan, pelebaran pembuluh darah dan infeksi. Efek samping lain yang bisa muncul akibat tindakan hemodialisa untuk gagal ginjal antara lain kram, sakit kepala, mual, pusing, sesak napas, menggigil dan lemah badan,” tutupnya.