Bagi orang yang baru pertama kali mendaki gunung, pasti ada rasa puas dan gembira ketika mencapai puncak. Sebab, ia telah berhasil menaklukkan begitu banyak rintangan, dari medan yang berat hingga tubuh yang rasanya lemas, tidak nyaman, diikuti pusing seperti hendak pingsan. Ketika berada di atas ketinggian, tubuh memang rentan mengalami perubahan hingga merasakan altitude sickness. Apalagi jika sebelumnya tak pernah berada di wilayah dataran tinggi tersebut. Meski merupakan kondisi yang biasa, altitude sickness dapat mengancam jiwa bila timbul komplikasi akibat tak adanya penanganan yang tepat.
Mengenal Altitude Sickness
Altitude sickness terjadi ketika tubuh tak bisa mendapatkan pasokan oksigen yang cukup saat berada di atas ketinggian. Biasanya kondisi ini muncul ketika seseorang yang tidak terbiasa berada di dataran tinggi dengan cepat mencapai ketinggian di atas 2.500 meter. Misalnya berkendara atau menumpang mobil yang melewati jalur pegunungan, mendaki gunung, menumpang pesawat terbang, atau mendatangi resor di area pegunungan.
Akibatnya, tubuh merasakan berbagai gejala fisik dan mental lantaran sebelumnya terbiasa berada di dataran rendah. Sebab, dibanding di dataran rendah, jumlah oksigen di dataran tinggi lebih terbatas. Gejala altitude sickness yang ringan lazim terjadi. Siapa pun bisa mengalaminya baik laik-laki maupun perempuan dan dari anak-anak hingga orang lanjut usia.Â
Altitude sickness bisa membahayakan. Karena itu, bagi orang yang hendak pergi atau melewati dataran tinggi, sebaiknya persiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan gejala yang terjadi. Pada umumnya, altitude sickness bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok: acute mountain sickness (AMS), high altitude cerebral edema (HACE), dan high altitude pulmonary edema (HAPE).Â
Kebanyakan orang merasakan AMS, yang gejalanya paling ringan. HACE terjadi ketika ada penumpukan cairan berlebih di otak sehingga mempengaruhi fungsi otak. Sedangkan HAPE bisa jadi merupakan hasil reaksi tubuh terhadap HACE, di mana cairan berlebih memasuki paru-paru. Meski begitu, HAPE bisa juga terjadi sendiri tanpa HACE.
Gejala
Gejaal altitude sickness bervariasi, bergantung pada keparahan kondisi yang dialami dan kesehatan individu yang mengalaminya secara keseluruhan. Gejala ini juga bisa dibedakan menurut tiga jenis altitude sickness.
Gejala acute mountain sickness
- Pusing
- Sakit kepala
- Kelelahan
- Mual dan muntah
- Napas pendek
- Koordinasi tubuh terganggu
- Gangguan tidur
- Kehilangan selera makan
- Penglihatan ganda
- Kulit tampak pucat
Gejala high altitude cerebral edema
- Kebingungan
- Masalah koordinasi tubuh
- Merasa kehabisan tenaga
- Kehilangan kendali
- Penurunan tingkat kesadaran
- Kejang
- Halusinasi
- Pembengkakan kaki, tangan, dan wajah
Gejala high altitude pulmonary edemaÂ
- Sesak napas walau dalam keadaan istirahat
- Demam
- Sulit bernapas
- Batuk tak berdahak
- Tubuh lemah dan lesu
- Kulit dan kuku membiru
Penyebab
Penyebab utama altitude sickness adalah mencapai ketinggian tertentu terlalu cepat atau berada di dataran tinggi dalam jangka waktu lama. Tekanan udara di dataran tinggi jauh lebih rendah. Artinya, udara menjadi padat dan molekul oksigen berkurang.
Jika seseorang menghirup oksigen yang terbatas, jantung dan paru-parunya harus bekerja dua kali lipat lebih keras sehingga meningkatkan irama detak jantung dan pernapasan. Akibatnya, tubuh memproduksi lebih banyak sel darah merah untuk membawa oksigen.
Selain itu, terjadi perubahan kondisi lingkungan ketika dari dataran rendah beranjak ke dataran tinggi. Misalnya suhu udara menjadi lebih rendah, tekanan udara anjlok, dan kelembapan yang berbeda dengan saat di dataran rendah. Walhasil, tubuh butuh waktu untuk beradaptasi dengan kondisi ini.  Â
Selama proses adaptasi ini, bisa muncul altitude sickness hingga tubuh mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Menurut sejumlah studi, ibu hamil, adanya penyakit jantung atau paru, riwayat altitude sickness, serta tinggal di dataran rendah lebih berisiko mengalami kondisi ini. Begitu pula jika terlalu cepat mencapai ketinggian dari dataran rendah. Â
Cara Dokter Mendiagnosis Altitude Sickness
Bila seseorang berada di dataran tinggi dengan gejala altitude sickness, dokter sudah pasti menduga orang tersebut mengalami kondisi itu. Dokter akan menanyakan berbagai gejala yang dialami dan melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan diagnosis.
Guna mengesampingkan kemungkinan penyebab lain, dokter mungkin juga akan menanyakan apakah sebelumnya minum minuman beralkohol atau menggunakan obat-obatan tertentu. Orang sering salah paham mengira gejala altitude sickness sebagai flu, dehidrasi, atau efek minuman beralkohol atau obat-obatan tertentu. Dokter bisa memberi kesimpulan kondisi yang dialami lewat serangkaian pemeriksaan medis.Â
Cara Mengatasi Altitude Sickness
Penanganan utama untuk mengatasi altitude sickness adalah segera turun ke dataran yang lebih rendah seaman dan secepat mungkin. Bila hal tersebut mustahil dilakukan, sebaiknya individu yang mengalami gejala kondisi ini tetap di ketinggian pada saat itu dan tidak berupaya mencapai tempat yang lebih tinggi.Â
Pada umumnya, gejala altitude sickness yang ringan bisa hilang dengan obat-obatan yang dijual bebas. Misalnya obat sakit kepala untuk mengatasi pusing. Gejala juga bisa hilang sendiri seiring dengan keberhasilan tubuh melakukan adaptasi.
Adapun individu yang mengalami altitude sickness dengan gejala lebih berat mesti secepatnya dibawa turun dan mendatangi rumah sakit atau penyedia layanan kesehatan lain yang ada. Penanganan bergantung pada tingkat keparahan gejala yang dialami.
Misalnya obat asetozolamid untuk meningkatkan laju pernapasan, obat deksametason untuk mengurangi pembengkakan di otak karena cairan berlebih, serta alat bantu oksigen guna menambah asupan oksigen untuk gejala yang lebih berat.
Komplikasi
Altitude sickness bisa berujung pada komplikasi bila individu yang mengalaminya menderita penyakit kronis. Komplikasi bisa juga terjadi akibat kondisi lain yang berkaitan dengan masalah kesehatan akibat berada di dataran tinggi, seperti dehidrasi dan radang dingin (frost bite).
Meski jarang terjadi, altitude sickness juga bisa mengancam jiwa. Bila gejala yang muncul tak dihiraukan, kondisi bisa berkembang menjadi lebih parah hingga meningkatkan risiko koma hingga kematian.
Pencegahan
Cara paling efektif untuk mencegah altitude sickness adalah aklimatisasi, yakni mencapai ketinggian dengan perlahan dan senyaman mungkin. Lewat cara ini, tubuh punya banyak waktu untuk beradaptasi terhadap perubahan kadar oksigen. Misalnya, ketika mendaki gunung atau berkendara melewati gunung, luangkan waktu untuk beristirahat beberapa kali selama mungkin di tengah perjalanan sebelum mencapai titik tertinggi.
Cara lain untuk mengantisipasi terjadinya altitude sickness meliputi:
- Menghindari rokok, obat terlarang, dan alkohol
- Mengonsumsi karbohidrat kompleks
- Banyak minum air putih
- Tidur cukup
- Minum obat untuk penyakit yang diderita
Kapan Harus ke Dokter?
Umumnya gejala altitude sickness hanya sementara. Begitu tubuh bisa beradaptasi, gejala akan hilang. Begitu pula jika sudah turun ke dataran rendah. Namun bila gejala justru memburuk, sebaiknya langsung turun dan datangi dokter. Orang yang mengalami gejala altitude sickness yang berat biasanya harus menjalani rawat inap guna memulihkan kondisinya.
Reviewed by
Medical Check Up Coordinator
Primaya Hospital Bekasi Timur
Referensi:
- Altitude Sickness. https://www.health.harvard.edu/a_to_z/altitude-sickness-a-to-z. Diakses 19 Januari 2023
- Altitude sickness. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2907615/. Diakses 19 Januari 2023
- Altitude sickness. https://www.nhs.uk/conditions/altitude-sickness/. Diakses 19 Januari 2023
- Altitude Sickness: What to Know. https://www.webmd.com/a-to-z-guides/altitude-sickness. Diakses 19 Januari 2023
- Acute high-altitude illness: a clinically orientated review. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4590130/. Diakses 19 Januari 2023
- Acute high-altitude sickness. https://err.ersjournals.com/content/26/143/160096. Diakses 19 Januari 2023
- Patient education: High-altitude illness (including mountain sickness) (Beyond the Basics). https://www.uptodate.com/contents/high-altitude-illness-including-mountain-sickness-beyond-the-basics. Diakses 19 Januari 2023