Setidaknya seruan itulah yang digaungkan pada peringatan hari tuberkulosis (TBC) sedunia pada tanggal 24 Maret 2022 lalu. Penyakit TBC adalah masalah kesehatan yang telah lama dihadapi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai, jumlah kasus baru di Indonesia masih menduduki peringkat ketiga di dunia, dengan beban kasus TBC baru sekitar 824.000 kasus dan kematian sebesar 15.186 kasus pada tahun 2021. Berbagai upaya telah dilakukan guna mendukung cita-cita dunia untuk mencapai โdunia yang bebas TBCโ pada tahun 2030.
TOSS TBC (Temukan TBC Obati Sampai Sembuh)!
Namun, sudahkah kita mengenal sepenuhnya bagaimana karakteristik musuh kita ini? Mari kita pelajari 10 fakta penting seputar TBC.
1. Tuberkulosis (TBC) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Jadi, adalah tidak benar bila disampaikan TBC merupakan penyakit keturunan, atau bahkan penyakit akibat guna-guna, melainkan disebabkan oleh proses infeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan sebagia penyebab infeksi TBC. Terdapat jenis Mycobacterium lain yang turut berkontribusi, misalnya M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. cannettii.
2. Tuberkulosis (TBC) tidak hanya menginfeksi organ paru-paru.
Sebagian besar infeksi TBC memang terjadi di parenkim paru, sehingga dikenal sebagai TBC paru. Akan tetapi, bakteri ini juga memiliki kemampuan untuk menginfeksi organ lain (dikenal sebagai TBC ekstra paru) mulai dari pleura (selaput paru), kelenjar limfe (getah bening), tulang, selaput otak, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, batuk lama (> 2 minggu), batuk darah, sesak napas, atau nyeri dada bukan gejala satu-satunya dari TBC, karena masing-masing organ yang terinfeksi akan memberikan gejala yang berbeda, misalnya pada TBC kelenjar getah bening akan ditemukan pembesaran atau pembengkakan kelenjar terkait; atau pada TBC selaput otak dapat ditemukan penurunan kesadaran hingga kejang-kejang.
Terdapat pula beberapa gejala lain yang menambah kecurigaan terhadap TBC, misalnya malaise (rasa lemas), penurunan berat badan, nafsu makan menurun, menggigil, demam, dan berkeringat di malam hari.
3. Tuberkulosis (TBC) tidak menular dari hewan ke manusia.
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan TBC. Sebagai catatan, salah satu kuman Mycobacterium lain, yaitu M. bovis, dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan penembusan ke mukosa saluran cerna dan menyerang kelenjar getah bening di tenggorokan saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Beruntung angka kejadian infeksi ini hampir tidak pernah ditemukan lagi dikarenakan proses pasteurisasi susu dan strategi kontrol TBC yang efektif pada ternak.
4. Penularan utama Tuberkulosis (TBC) adalah melalui udara.
TBC biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui droplet (percik renik) yang keluar ketika seorang yang terinfeksi TBC paru atau TBC pita suara sedang batuk, bersin, bicara, atau melakukan prosedur yang menghasilkan produk aerosol, seperti induksi sputum atau bronkoskopi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3.000 percik renik dan satu kali bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Percik renik ini berukuran sangat kecil, bersifat sangat infeksius (mengandung 1-5 basil TBC), dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Sedangkan, hanya dibutuhkan 1-10 basil TBC bagi seseorang untuk mengalami infeksi TBC.
5. Tidak semua pasien TBC infeksius / menularkan penyakit.
Pasien TBC yang paling infeksius adalah pasien dengan hasil pemeriksaan dahak positif TBC, dengan hasil perhitungan banyaknya kuman +3. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TBC ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TBC paru.
6. Terpapar dengan TBC tidak selalu menimbulkan penyakit TBC.
Setelah terinfeksi / masuknya kuman TBC ke dalam tubuh seseorang, kuman TBC dapat menyebabkan penyakit aktif, atau dapat pula hanya bersifat laten (berdiam diri), bergantung pada kondisi ketahanan tubuh seseorang. Bahkan, dikatakan 90% individu dengan sistem imun yang normal akan mengalami kasus laten, dimana bakteri tersebut ada, namun tidak berkembang biak dan tidak dapat melakukan penularan.
7. Penurunan daya tahan tubuh akan menambah kerentanan seseorang untuk mengalami penyakit TBC aktif.
Perlu diperhatikan bahwa kasus TBC dapat mengenai semua individu tanpa memandang usia maupun jenis kelamin. Namun, individu dengan kondisi imun buruk lebih rentan untuk mengalami penyakit TBC aktif. Beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi antara lain:
- Penderita HIV,
- Individu yang mengonsumsi obat imunosupresan (penekan imun) dalam jangka waktu panjang,
- Perokok,
- Konsumsi alkohol tinggi,
- Anak usia < 5 tahun,
- Lanjut usia,
- Kontak erat dengan penderita penyakit TBC aktif yang infeksius,
- Petugas kesehatan.
8. Semua pasien terduga TBC harus menjalani pemeriksaan lanjutan untuk mengkonfirmasi penyakit TBC.
Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak diketahui penyebabnya dan berlangsung dua minggu atau lebih, atau dengan temuan lain pada foto rontgen dada yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke arah TBC, harus dilakukan evaluasi lanjutan untuk TBC. Pemeriksaan lanjutan yang umumnya dikerjakan untuk diagnosis TBC paru adalah pemeriksaan kuman TBC di dahak. Upaya diagnosis lain pada organ terkait akan dianjurkan oleh dokter Anda apabila terdapat kecurigaan terhadap infeksi TBC ekstra paru.
9. Pemberian obat anti TBC merupakan komponen terpenting dalam pengobatan TBC.
Pengobatan akan diberikan dalam bentuk paduan obat yang tepat, setidaknya mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi / kekebalan kuman terhadap obat. Obat harus dikonsumsi secara teratur dan diawasi secara langsung sampai selesai masa pengobatan. Umumnya pengobatan akan memakan waktu minimal 6 bulan, atau dapat lebih sesuai dengan pertimbangan dokter. Tidak jarang obat akan memberikan efek samping, tapi tidak dibenarkan untuk menghentikan obat secara sepihak. Komunikasikanlah hal tersebut dengan dokter Anda agar dapat ditemukan solusi yang tepat bagi Anda.
10. Saat dan setelah selesai pengobatan Tuberkulosis (TBC), perlu dilakukan evaluasi pengobatan.
Merasa gejala sudah membaik juga tidak menjadi alasan yang dibenarkan untuk menghentikan pengobatan sebelum waktunya selesai. Pengobatan tuberkulosis (TBC) memerlukan evaluasi berkala terkait respons dan kemungkinan kegagalan terapi. Akan terdapat waktu-waktu khusus dimana dokter akan meminta Anda melakukan pemeriksaan evaluasi untuk menentukan langkah pengobatan selanjutnya.
Narasumber
Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Primaya Evasari Hospital
Referensi:
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dashboard TB Indonesia Update 1 Juli 2022. https://www.tbindonesia.or.id.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. 2020.
- World Health Organization. WHO Consolidated Guidelines on Tuberculosis. https://www.who.int/publications/i/item/9789240048126