Nyeri adalah sinyal atau pertanda bahwa ada yang bermasalah dalam tubuh. Rasa nyeri biasanya akan hilang begitu pemicunya diketahui dan diatasi. Adapun nyeri yang berlangsung lama dan tak kunjung hilang alias nyeri kronis membutuhkan penanganan medis yang lebih spesifik. RFA atau radiofrequency ablation merupakan salah satu prosedur yang lazim digunakan untuk mengelola nyeri kronis.
Mengenal RFA
RFA adalah prosedur medis yang diterapkan untuk mengatasi berbagai kondisi medis dengan memanfaatkan arus listrik berfrekuensi tinggi yang dapat menghancurkan jaringan yang abnormal. Kondisi medis yang memerlukan prosedur ini termasuk nyeri leher kronis, osteoartritis sendi, nyeri punggung bawah, dan masalah lain yang berkaitan dengan saraf dan jaringan lunak.
RFA juga dapat digunakan sebagai prosedur invasif minimal untuk mengecilkan ukuran tumor/kanker, bintil, atau pertumbuhan abnormal lain pada tubuh. Dalam prosedur RFA, dokter menggunakan elektroda yang dipasang pada permukaan tubuh, umumnya di dekat lokasi saraf yang menjadi sumber rasa nyeri. Arus listrik dengan frekuensi tinggi lantas dialirkan lewat elektroda sehingga menghasilkan panas yang mempengaruhi jaringan yang dituju. Energi panas ini berfungsi menghancurkan jaringan yang abnormal atau mengurangi/menghentikan aktivitas saraf dalam mengirim sinyal rasa nyeri ke otak sehingga rasa nyeri yang dirasakan pasien akan reda.
Seperti dikutip dari laman National Library of Medicine, terdapat sejumlah jenis teknik RFA, antara lain pulsed radiofrequency ablation, water-cooled radiofrequency ablation, dan cryoneurolysis. Pemilihan teknik ini disesuaikan dengan masalah kesehatan dan kondisi pasien dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya.
Siapa Saja yang Memerlukan
Seseorang mungkin memerlukan RFA ketika mengalami kondisi medis tertentu, seperti:
- Gangguan nyeri kronis untuk mengatasi rasa sakit
- Tumor hati kecil yang sulit diangkat lewat pembedahan
- Tumor ginjal yang tak memenuhi syarat operasi karena faktor tertentu
- Tumor paru-paru yang tak dapat diangkat lewat operasi konvensional
- Tumor tulang belakang
Untuk memastikan apakah seorang pasien membutuhkan RFA, dokter akan melakukan pemeriksaan menyeluruh, termasuk mengecek riwayat medis pasien.
Kapan Seseorang Memerlukan RFA
Umumnya seorang pasien dianggap perlu menjalani RFA jika kondisinya tak memungkinkan untuk menjalani bedah invasif konvensional yang berisiko lebih tinggi. Begitu pula bila pasien itu sudah menjalani prosedur medis lain tapi tak menunjukkan perbaikan kondisi. Gejala yang mengindikasikan seseorang memerlukan RFA antara lain:
- Nyeri kronis yang tak dapat dikendalikan dengan obat-obatan atau prosedur terapi lain, misalnya pada leher, punggung, atau lutut
- Penurunan berat badan tanpa alasan jelas
- Mual dan muntah
- Kelelahan berlebih
- Kulit atau mata berubah menjadi kuning
- Perut membengkak
- Batuk tak kunjung sembuh
- Batuk berdarah
- Sesak napas
- Kehilangan nafsu makan
- Nyeri dada
- Gejala lain yang mengarah pada kemungkinan adanya tumor atau kanker di dalam tubuh
Aplikasi radiofrekuensi dapat diberikan pada banyak kondisi klinis dalam penanganan nyeri seperti:
1. Nyeri Punggung Belakang
- Nyeri cervical
Nyeri kronik pada cervical (leher) dapat mucul dari beberapa struktur regio cervical termasuk sendi zygaphophiseal, segment saraf cervical, ligament dan myofascial
Pengobatan radiofrekuensi pada area cervical. Yakni radiofrekuensi denervasi pada cabang medial atau denervasi facet untuk manajemen nyeri leher dan atau cervicogenic headchache.
- Nyeri Thorakal
Penyebab dari nyeri regio thorakal antara lain neuralgia intercostal, neuralgia dari dinding abdominal, lalu nyeri menjalar dari medulla spinalis yakni akibat osteoporosis, ataupun collapse vertebrae.
Dua publikasi menunjukkan hasil yang memuaskan antara grup dengan terapi RF pada manajemen thoracic radicular pain. Stolker et al melakukan evaluasi pada 45 pasien dengan thoracic radicular pain. Didapatkan penurunan signifikan dari nyeri pada > dari 70 % pasien 13-46 bulan setelah terapi. Studi mirip yang lain dilakukan oleh van Kleef dan Spaans mendapatkan 52 % pasien mengalami penurunan nyeri yang signifikan pada 9-30 bulan.
- Nyeri Lumbal
Vertebra lumbalis terdiri dari lima ruas tulang atau nama lainnya adalah ruas tulang pinggang, luas tulang pinggang adalah yang terbesar. Taju durinya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil. Taju sayapnya panjang dan langsing. Ruas kelima membentuk sendi dan sacrum pada sendi lumbo sacral. Target radiofrekuensi adalah cabang medial dari ramus primer posterior dari lumbal (L1-L4), hubungan antara processus artikularis superior dan permukaan atas dari bagian lateral dari sacrum (L5) sebelah lateral dari foramen sacralis (S1-S3).
2. Trigeminal Neuralgia
Nervus trigeminus merupakan nervus terbesar di antara 12 nervus cranialis dan merupakan saraf kranial yang kompleks. Nervus ini merupakan nervus campuran (mixed nerve) yang memiliki komponen mayor berupa saraf sensoris (somatic afferent fibers) untuk wajah dan komponen minor berupa saraf motoris (special somatic efferent) untuk otot-otot mengunyah (mastikasi).
Trigeminal neuralgia juga disebut “tic douloureux” karena adanya pada saat meringis ke satu sisi menunjukkan rasa sakit/ nyeri pedih yang terbatas pada distribusi satu atau lebih divisi dari saraf trigeminal. Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan deskripsi pasien tentang rasa sakit dan rangsangan yang memprovokasi. Untuk mengekslusi adanya massa lesi CT scan atau MRI diindikasikan. Manajemen farmakologis adalah pengobatan pilihan pertama tetapi pada pasien yang menderita trigeminal neuralgia refraktori untuk terapi radiofrekuensi pada gasserian bisa dipertimbangkan
3. Trigeminal Oksipital
Neuralgia oksipital juga disebut Arnold’s neuralgia, diartikan oleh International Headache Society sebagai nyeri yang paroksismal, menusuk pada greater, lesser dan atau distribusi saraf third occipital intensitas nyeri seringkali berat dan menyebabkan kelemahan dan berhubungan dengan kualitas hidup fungsional. Kasus ini sebagian besar etiologinya adalah idiopatik tanpa adanya kelainan strukutral .
Prosedur radiofrekuensi untuk terapi pada occipital neuralgia, migraine dan cervicogenic headchaches dengan target pada greater occipital nerve (C2), lesser occipital nerve (C3)
4. Nyeri Lutut
Sendi lutut diinervasi oleh cabang artikular dari berbagai saraf, termasuk femoral, saraf peroneal, saphena, tibialis dan obturator. Cabang artikular ini sekitar sendi lutut dikenal sebagai saraf genicular. Saraf genicular dapat dengan mudah ditemukan secara perkutan di bawah bimbingan fluoroskopik. Cabang genicular dari sendi lutut terdiri dari superior lateral (SL), middle, superior medial (SM), inferior lateral (IL), inferior medial (IM), dan recurrent tibial genicular nerve . Target termasuk SL, SM and IM saraf genicular. Indikasi blok saraf genicular antara lain pasien dengan nyeri kronik akibat OA, pasien dengan gagal dari knee replacement, pasien yang tidak bisa dilakukan knee replacement, pasien yang tidak ingin dioperasi.
Nyeri lutut kronis akibat osteoartritis atau artroplasti adalah masalah yang sering terjadi. Sejumlah publikasi telah melaporkan keberhasilan prosedur radiofrekuensi (RF) pada saraf yang menginervasi lutut. Perawatan radiofrekuensi pada sendi lutut (suplai saraf utama atau periarticular atau cabang intra-artikular) berpotensi mengurangi rasa sakit akibat osteoartritis atau nyeri pasca artroplasti.
5. Nyeri sendi bahu
Sendi bahu merupakan sendi yang kompleks pada tubuh manusia. Persendian ini dibentuk oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade), clavicula (collar bone), humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi acromioclavicular, sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerjasama secara sinkron. Sendi glenohumeral mempunyai lingkup gerak sendi yang sangat luas karena caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok sendi.
Manfaat/Tujuan
RFA bermanfaat sebagai prosedur minimal invasif untuk mengatasi berbagai kondisi medis,
Pemulihan setelah RFA tak perlu waktu lama karena bukan merupakan prosedur bedah terbuka. Risiko komplikasinya pun lebih kecil daripada operasi konvensional.
Persiapan Sebelum Menjalani RFA
Sebelum menjalani RFA, pasien mesti memahami prosedur ini sepenuhnya dan menyiapkan diri. Persiapan yang umumnya diperlukan untuk menjalani RFA antara lain:
- Berkonsultasi dengan dokter mengenai kondisi yang dialami serta prosedur RFA yang akan dijalani
- Pemeriksaan darah dan pencitraan, misalnya dengan MRI, USG, atau CT scan guna menilai kondisi jaringan yang akan ditargetkan dalam RFA
- Pengaturan pola makan dan minum sebelum prosedur, antara lain berpuasa makan/minum jika diperlukan
- Menghentikan atau menyesuaikan konsumsi obat-obatan tertentu sesuai dengan instruksi dokter
- Mengatur transportasi pulang dengan menyiapkan pendamping untuk mengantisipasi efek anestesi yang masih terasa
Prosedur dan Pelaksanaan
Prosedur radiofrequency ablation biasanya dilakukan di rumah sakit dengan peralatan yang lengkap dan tim medis yang kompeten. Langkah umum pelaksanaan RFA biasanya mencakup:
- Pasien berbaring di atas meja operasi setelah berganti pakaian
- Area tubuh yang akan dilakukan RFA dibersihkan dan disterilkan
- Pemberian anestesi untuk membuat pasien merasa rileks dan tak merasa sakit selama prosedur berlangsung
- Dokter memasukkan jarum kecil dengan elektroda di atasnya ke area tubuh dengan dipandu prosedur pencitraan
- Begitu jarum menjangkau area yang dituju, dokter melakukan tes dengan memasukkan mikroelektroda dan menanyakan apakah pasien merasakan sensasi tertentu
- Jika lokasi area sudah pas, gelombang listrik dialirkan lewat jarum ke area yang dituju
- Bila prosedur sudah selesai, jarum dan elektroda akan diambil dengan perlahan
Perawatan Pasca RFA
Setelah prosedur RFA selesai, pasien akan dipindahkan ke ruangan pemulihan. Di sini kondisi pasien akan dipantau guna memastikan tidak ada komplikasi yang muncul. Dokter akan menginformasikan prosedur perawatan lanjutan, termasuk perawatan luka, penggunaan obat penghilang rasa sakit, dan tindakan lanjutan yang mungkin diperlukan.
Pasien akan diminta beristirahat yang cukup dan menghindari kegiatan fisik yang berat. Pasien bisa kembali beraktivitas seperti biasa setelah kondisinya sudah stabil dan tak ada efek samping yang terasa mengganggu.
Adakah Efek Samping Setelah RFA
Efek samping setelah RFA umumnya ringan dan akan segera reda tanpa perawatan khusus. Di antaranya:
- Nyeri atau tidak nyaman pada area yang dilakukan RFA
- Peradangan dan pembengkakan pada area yang diobati
- Muncul reaksi pada kulit seperti kemerahan atau iritasi di lokasi pemasangan elektroda
RFA di Primaya Hospital
Primaya Hospital adalah pilihan yang ideal untuk menjalani prosedur RFA atau radiofrequency ablation dengan adanya fasilitas serta peralatan berteknologi canggih dan tenaga medis yang berpengalaman. Primaya Hospital menawarkan perawatan yang berkualitas dan aman bagi pasien yang membutuhkan prosedur RFA.
Narasumber:
dr. Nur Surya Wirawan, Sp.An. KMN
Dokter Spesialis Anesteri
Primaya Hospital Makassar
Referensi:
- Radiofrequency Ablation for Pain Management. https://my.clevelandclinic.org/health/treatments/17411-radiofrequency-ablation. Diakses 24 Oktober 2023
- Radiofrequency Ablation. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482387/. Diakses 24 Oktober 2023
- Radiofrequency Ablation. https://www.hopkinsmedicine.org/health/treatment-tests-and-therapies/radiofrequency-ablation. Diakses 24 Oktober 2023
- Radiofrequency Ablation for Arthritis Pain. https://www.webmd.com/arthritis/radiofrequency-ablation. Diakses 24 Oktober 2023
- Current oncologic applications of radiofrequency ablation therapies. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3648666/. Diakses 24 Oktober 2023
- Radiofrequency ablation: a review of current knowledge, therapeutic perspectives, complications, and contraindications. https://medcraveonline.com/IJBSBE/radiofrequency-ablation-a-review-of-current-knowledge-therapeutic-perspectives-complications-and-contraindications.html. Diakses 24 Oktober 2023
- Badrul Munir, Widodo Mardi Santoso. 2020. RADIOFREQUENCY AS PAIN INTERVENTIONAL THERAPY IN NEUROLOGY. Neurology Department, Medical Faculty, Brawijaya University. 31-36